Senin, 15 Februari 2016

[Cerpen] Cinta dan Pengabdian




Uap mengepul di atas secangkir cappucino di atas meja tepat di depanku. Di sampingku, dinding kaca tampak buram oleh tempias hujan. Udara dingin, sangat berlawanan dengan yang dirasakan bibirku saat bersentuhan dengan permukaan cappucino yang barusan kucoba untuk disesap.
Suara-suara hujan, permukaan cappucino yang mulai datar setelah sebelumnya beriak, bunyi denting piring dan sendok dari para pengunjung restoran, semuanya sangat terperhatikan dengan baik olehku yang sedang menunggu dalam ketenangan dan kegelisahan secara bersamaan. Aku tidak berani melirik jam dinding restoran, apalagi mengangkat tanganku dan melihat waktu yang ditunjukkan oleh jam tangan hitamku.
Aku sudah duduk di sini setengah jam lebih awal dari perjanjian. Dua puluh lima menit lebih kuhabiskan untuk menyaksikan bagaimana hari yang cerah secara tiba-tiba menjadi mendung, lalu gerimis mulai turun, dan sekarang mulai melebat secara perlahan. Cappucino di depanku baru diantar semenit yang lalu, ketika aku sadar mungkin sebentar lagi orang-orang yang kutunggu akan datang.
Kemudian...
"Assalamualaikum Zahra, sudah menunggu lama, ya?"
Aku menoleh dan tersenyum pada seorang wanita paruh baya berjilbab lebar yang entah kenapa tetap terlihat modis meskipun aku tau ia baru saja menembus hujan dari parkiran mobil ke dalam restoran. Ia pun duduk di hadapanku dengan anggunnya, lalu memesan minuman hangat pada pelayan yang lewat tak jauh dari kami.
"Kalau pun saya menunggu, itu bukan karena Mbak. Padahal harinya sedang hujan, tapi Mbak datang tepat waktu." Ucapku setelah sebelumnya membalas pelan salamnya.
"Jadi, Zahra, sudah empat bulan," Mbak Fira, yang saat ini duduk di hadapanku, mencoba untuk memulai pembicaraan dengan kata-kata yang kuanggap sedikit keliru.
Pikiranku menerawang pada sesosok lelaki berpeci yang tersenyum tulus padaku, membuatku lupa akan bekas-bekas kecacatan pada sebagian wajahnya. Seorang lelaki yang bertekad membahagiakanku tanpa pernah banyak menuntut, yang dengan keberaniannya menemui ayahku dua tahun lalu untuk melamarku. Tempat berlabuhnya cinta dan pengabdianku, tapi empat bulan sudah ia mendahuluiku karena Tuhan lebih menginginkan untuk bertemu dengannya daripada denganku.
"Apa kau merasa sudah baikan untuk memulai hidup baru?" Mbak Fira bertanya padaku. Aku menghelas nafas. Sejujurnya, aku masih berduka. Aku masih belum bisa lepas dari kesedihan setelah Hasan suamiku meninggal dunia empat bulan yang lalu. Aku masih sering terbayang wajahnya, suara merdunya saat melantunkan firman Tuhan pun seolah masih menggema di telingaku. Aku merindukan merawatnya di atas kasur, membantunya berjalan dan menyuapinya makanan, rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengarkan nasehat-nasehatnya yang ia ucapkan dengan lembut padaku.
"Hasan, sesuai namanya, adalah seorang lelaki yang baik. Lebih dari itu, ia adalah suami dan imam yang baik. Aku merasa beruntung pernah memilikinya," kataku sambil tersenyum pahit. Barusan adalah semacam pembelaanku di depan Mbak Fira, untuk memberitahunya bahwa sulit sekali menemukan seseorang yang seperti Hasan.

"Aku mengerti kau sangat mencintainya. Aku pun demikian, sangat mencintai suamiku, tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita kasihi. Lebih sakit daripada diputus pacar, kurasa," kata Mbak Fira setengah tertawa. Aku mengerti bahwa ia sedang mencoba untuk memahami sekaligus mencairkan suasana saat ini.
Mungkin benar adanya hujan membuat seseorang mengingat-ngingat masa lalunya. Aku ingat bahwa Hasan bukanlah seorang yang kukenal lama, bukan sebuah nama yang kusebut dalam doa saat mengadu pada Tuhan, bukan seorang yang sering kulirik di masa remaja. Bukan sama sekali.
Saat aku masih SMA, seseorang yang lain telah menyita perhatianku. Seseorang yang kukagumi karena kecerdasan sekaligus parasnya yang menawan. Ia bernama Ahmad Fikri, seorang lelaki yang ramah dan humoris. Aku merasakan sesuatu padanya, tapi justru karena itulah aku tak berani dekat-dekat dengannya. Kami tidak pernah duduk dalam satu kelas. Aku hanya berani melihatnya dari jauh saat aku sedang latihan badminton dalam aula yang pintunya terbuka, sementara ia berlatih silat di halaman sekolah.
Aku tak berani menanyakan tentangnya pada siapapun, apalagi memberitahu kepada siapapun tentang apa yang kurasakan. Aku begitu pemalu, tapi justru aku bersyukur karena itulah aku tidak pernah menjalani hubungan yang dinamakan pacaran.
Teman-temanku mengatakan aku terlalu cepat dewasa. Saat mereka masih asik curhat tentang seseorang yang mereka sukai, mereka kagumi, tentang pernyataan cinta di antara sepasang muda-mudi, aku sudah memimpikan seorang lelaki yang akan menikahiku di masa depan. Ketika wajah mereka bersemu merah karena menceritakan pengalaman indah yang mereka alami bersama seorang yang mereka sukai, aku dengan malu-malu namun bersemangat bercerita tentang seseorang yang kuyakin telah disiapkan Tuhan sebagai jodohku di masa depan, disimpan dalam rahasia yang begitu indah untuk dinanti.
Mereka hanya tidak tahu, aku pun terkadang berkhayal tentang seorang bernama Ahmad Fikri saat mulai cerewet soal jodoh. Meskipun begitu, aku masih teramat malu bahkan di depan Tuhanku sendiri untuk mengucapkan namanya. Aku hanya berdoa dengan menyebut karakter seseorang yang kuinginkan menjadi pendampingku kelak. Yang dengannya aku bisa bercinta dalam sebuah hubungan yang halal. Pacaran setelah menikah, orang bilang, begitu bahagianya bisa bersama dengan seseorang yang memang kita harapkan.
Ketika aku mulai kuliah, betapa senangnya diriku mendapati Ahmad Fikri berkuliah di kampus yang sama denganku. Meskipun kami beda jurusan, tapi area fakultasnya berdekatan hingga terkadang aku masih bisa melihatnya lalu lalang di sekitarku. Sama sekali, aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Yang pernah hanyalah, suatu ketika aku berjalan sendirian melewatinya yang sedang tertawa-tawa dengan teman-temannya. Aku menunduk dan sedikit mengangguk saat mataku bertemu dengan matanya dalam waktu sepersekian detik, sekedar menunjukkan bahwa aku mengenalnya dan kami adalah alumni dari SMA yang sama. Lebih dari itu, tidak pernah.
Lama-kelamaan aku merasa pesimis bagaimana bisa dia yang jarang berinteraksi denganku secara tiba-tiba menjadi jodohku. Diluar semua itu, aku terus memperbaiki diri dan agamaku, berharap bahwa suatu saat akan mendapatkan seorang imam yang shaleh yang benar-benar bisa membimbingku untuk berjalan bersama di jalan-Nya.
Namun, hingga aku telah menyelesaikan skripsi dan sudah diwisuda, seseorang yang bernama Ahmad Fikri itu tak juga menunjukkan tanda-tanda takdir Tuhan mengikuti apa yang kuinginkan. Secara tiba-tiba ia menghilang. Aku tak pernah melihatnya lagi dan tak tahu kabarnya. Tak ada yang menyebut tentang dirinya dalam forum alumni sekolahku, dan aku pun tak berani mencari tahu tentangnya lebih jauh. Dia menghilang dengan tetap membawa harapanku, membuatku semakin rajin mengadu pada Tuhanku dengan tetap menyamarkan namanya karena rasa maluku, meskipun aku tahu bahwa Dia Maha Tahu.
Kemudian pada suatu hari selepas Maghrib, ayahku mengajakku bicara dengan ekspresi serius.
"Seseorang telah melamarmu melalui Bapak hari ini tadi," kata ayahku, kalimat yang begitu singkat dan jelas, tapi mampu membuatku terdiam selama beberapa detik.
"Bapak mengenalnya, dia seorang lelaki yang baik. Agamanya bagus dan Bapak yakin dia bisa menjadi imam yang baik untukmu,"
"Apa aku mengenalnya, Pak?" tanyaku, dalam hati aku menyebut-nyebut sebuah nama.
"Dia bahkan belum bertemu denganmu. Begitu dia tahu Bapak punya seorang anak perempuan, dia memantapkan hati untuk melamarmu,"
Aku menyembunyikan gurat kekecewaan di wajahku. Aku melirik ibuku untuk meminta pendapatnya.
"Ibu sudah berunding dengan Bapakmu, insya Allah laki-laki ini adalah jodohmu, Zahra. Ibu pernah bertemu dengannya beberapa kali, semua orang tentu memilili kekurangan, tapi Ibu rasa dia calon yang tepat," ibuku mencoba meyakinkanku. Aku tahu mereka tidak akan memaksaku. Aku mengingat kembali beberapa poin yang kudapat dalam kajian-kajian atau majelis ilmu yang aku ikuti, bahwa beberapa cara dalam mencari jodoh yaitu dengan berdoa kepada Allah, dicarikan oleh orang tua, atau melalui pihak ketiga.
Aku telah berdoa dari jauh-jauh hari. Baik secara umum ataupun saat aku membayangkan Ahmad Fikri lah yang merupakan pasanganku di masa depan. Sekarang, seorang lelaki yang tidak kukenal telah melamarku dan kedua orang tuaku sangat setuju dengannya.
Aku dipertemukan dengan orang yang melamarku beberapa hari kemudian. Dia bernama Muhammad Hasan. Ada cacat di wajahnya karena bekas luka bakar, kakinya lebih panjang sebelah hingga ia berjalan dengan agak pincang. Namun, matanya teduh dan teguh, ekspresinya tenang dan berwibawa sehingga ia tampak dewasa, berbeda dengan Ahmad Fikri yang ku kenal sebagai seorang yang masih memiliki sedikit keusilan masa muda.
Pada kenyataannya, Muhammad Hasan memang tujuh tahun lebih tua dariku. Ia seorang wiraswasta, memiliki rumah makan sebagai usahanya. Ia juga sering mengisi artikel-artikel di surat kabar atau majalah mengenai opini publik dan hal lain yang berkaitan dengan manajemen bisnis.
Akhirnya, aku harus membuat keputusan.
Aku mengatakan bahwa aku setuju pada ayahku. Dan tepat saat itu juga, aku menghapus semua perasaanku pada Ahmad Fikri. Meyakinkan diriku bahwa aku tak mungkin menunggunya lagi, sementara di sini seseorang telah menyatakan keseriusannya padaku. Aku berusaha menghilangkan bayang-bayang wajah Ahmad Fikri dalam pikiranku, berusaha menjadikannya terlihat biasa sama seperti teman-temanku yang lainnya.
Satu bulan kemudian, aku telah resmi menikah dengan Muhammad Hasan. Aku pun memulai kehidupan baru. Ia mengizinkanku untuk bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan, sesuai dengan jurusan yang kuambil saat kuliah. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana. Meskipun tidak besar, tapi rumah itu adalah milik kami dan bukan mengontrak, Hasan membelinya dengan uangnya sendiri.
Aku mulai mencoba menumbuhkan rasa cintaku pada Hasan. Memang sulit pada awalnya. Aku yang sama sekali tidak pernah mengenalnya, tiba-tiba menemuinya sebagai suamiku sekarang. Tapi walau bagaimanapun, aku tetaplah seorang istri yang harus melayani suami sebaik mungkin. Suka atau tidak suka, biarlah cinta itu tumbuh dengan sendirinya dan tiba-tiba pada suatu hari ia mengakar dengan begitu kuatnya. Aku meniatkan semuanya karena Allah semata, agar Ia memudahkanku mengabdi sebagai seorang istri dan melupakan semua anganku pada laki-laki lain.
Setahun setelah aku menikah dengan Hasan, aku menyadari bahwa dia benar-benar menjadi sosok lelaki yang baik, yang terus membimbingku dalam ketaatan pada Tuhan, yang begitu sabar menghadapi tingkahku yang kadang kekanak-kanakan. Dia adalah idola baruku, dia tak pernah lelah mengingatkanku dalam kebaikan, bahkan ia sendiri yang membantu memperbaiki bacaan Quranku. Dia seorang lelaki yang bijak dan tangguh, seorang yang bertanggung jawab dan berlaku lemah lembut terhadapku.
Hasan sudah sering diuji melalui diriku, lalu tibalah saatnya aku yang diuji melewati dirinya. Ia terserang penyakit yang membuatnya tak bisa beraktifitas seperti biasa. Aku merawatnya dengan sabar, memenuhi segala kebutuhannya dan tetap bekerja sebagai seorang karyawan semampuku.
Sedikit demi sedikit Hasan mengajariku mengelola bisnis rumah makannya. Belakangan ini aku baru sadar bahwa mungkin ini adalah pertanda bahwa ia akan meninggalkanku. Dan benar saja, empat bulan yang lalu Muhammad Hasan telah berpulang ke haribaan-Nya karena penyakitnya. Ia meninggalkan diriku dan taman-taman cinta yang baru saja kubangun dengan megahnya. Ia meninggalkanku sendirian di tengah bunga-bunga cinta yang masih bermekaran.
"Taman bungaku masih belum layu seutuhnya, Mbak Fira. Mbak Fira masih bisa membuat berbuket-buket bunga dari tamanku itu," ucapku lirih dengan senyuman tipis. Hujan masih turun di luar. Restoran tempat pertemuanku dengan Mbak Fira siang ini adalah peninggalan dari Hasan. Dua bulan yang lalu aku resmi berhenti dari pekerjaanku sebagai karyawan dan fokus mengurus usaha rumah makan ini.
"Kalau begitu, biarkan tamanmu terus berbunga dan sambutlah seseorang di sana," sahut Mbak Fira. Ia menatap mataku dalam-dalam. Ia seakan berbicara melalui tatapannya: ingatkah kau dengan kata-kata terakhir Hasan suamimu? Kau sendiri yang pernah berkata, Hasan berpesan padamu untuk terus melanjutkan hidupmu.
Aku mengalihkan pandangan dari tatapan Mbak Fira. Namun, justru tatapan Hasan yang terbayang olehku. Sebelum dia meninggal, ia hanya meminta padaku untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ia mengucapkan terima kasih karena aku telah mengurusnya selama ini, ia mengatakan bahwa ia mencintaiku, ia pun tahu aku mencintainya, tapi Hasan berkata, "Aku benar-benar minta maaf jika menyusahkanmu, aku yakin suatu saat seseorang akan menjagamu. Seseorang yang mungkin lebih baik daripada aku, jika ia datang padamu maka janganlah kau menolaknya,"
Seseorang itu, datang melewati Mbak Fira.
"Kau tidak lupa, kan? Alasan kita bertemu di sini karena aku ingin menyampaikan sebuah amanah yang dititipkan kepadaku. Adik iparku, ia tertarik denganmu setelah melihat fotomu dan berniat untuk menikahimu,"
"Iya, Mbak. Saya tidak lupa,"
"Berapa umurmu sekarang, Zahra?"
"Dua puluh empat Mbak, sebentar lagi dua puluh lima,"
"Adik iparku, dia sudah dua puluh lima. Dia akan menyusul ke sini sehingga kau bisa melihatnya. Insya Allah dalam beberapa hari ke depan dia akan datang ke rumahmu untuk melamar,"
Aku diam saja, tawakkal pada kehendak Tuhan. Entah siapa lagi yang akan mengukir nama dan kenangan indah dalam benakku untuk di masa depan.
Lima menit kemudian, seorang laki-laki menghampiri meja kami dan mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan agak menunduk, berusaha agar tidak bertemu pandang dengan matanya. Tapi tetap saja, aku bisa melihat wajahnya. Wajahnya bersih dengan jenggot tipis di dagunya. Meskipun demikian, ia tampak masih muda dengan rambut yang dipangkas rapi sehingga ia kelihatan gagah. Dan menawan. Parasnya yang menawan. Gerak gerik tubuhnya yang menunjukkan bahwa ia punya kekuatan fisik. Ia mengingatkanku pada seseorang. Bukan pada Hasan, tapi pada seseorang yang kukenal sebelum Hasan.
"Zahra, ini Ahmad Fikri, adik ipar Mbak,"
Aku menunduk lebih dalam lagi. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Aku memang baru mengenal Mbak Fira setahun terakhir, tak kusangka aku telah mengenal adik iparnya lebih dulu.
"Fik, ini Zahra,"
"Iya, Mbak. Saya sebenarnya sudah kenal. Kami pernah satu sekolah ketika SMA," ucap Fikri. Lugas, tenang, tanpa beban dan apa adanya. Justru akulah yang mulai terheran-heran dengan takdir Tuhan yang tak terduga ini.
"Sebenarnya Mbak, saya tidak bisa lama-lama di sini. Saya cuma memastikan bahwa yang di foto itu benar-benar Zahra teman sekolah saya dulu," kata Fikri lagi.
Ahmad Fikri sekarang sudah berbeda. Ia menjadi seorang yang dewasa, tidak kenakan-kanakan seperti dulu lagi. Dua bulan kemudian, dia resmi menjadi suamiku. Dia menghidupkan kembali taman bungaku yang tadinya mulai layu dengan cinta tulusnya. Dia menjadi imam yang dapat diandalkan, dia membuatku terus bersyukur pada Tuhan. Aku mengabdi padanya setulus yang aku bisa, mencintainya dengan sepenuh hati dan ia pun berusaha membahagiakanku dengan caranya sendiri.
Dengannya, aku melahirkan sepasang anak kembar. Bersama keluarga kecil inilah aku melanjutkan hidupku, sebagai seorang ibu untuk anak-anakku dan seorang istri yang mengabdi pada suamiku hingga akhir hayatku.
***

Cerpen ini kuikutkan dalam sebuah lomba dari penerbit indie yang informasinya kutemukan di Facebook, kemarin saat pengumuman cerpen ini tidak termasuk ke dalam kontributor terpilih sehingga aku memutuskan daripada ia mengendap di laptopku atau alur ceritanya hanya membayang di kepalaku saja, mungkin ada baiknya jika kumasukkan ke dalam blog. Semoga menginspirasi entah dalam hal apa karena aku yakin masing-masing orang punya sudut pandang yang berbeda-beda. Ngomong-ngomong, ada hal lain yang membuatku berpikir keras untuk memutuskan memasukkannya di blog. Setelah kubaca ulang aku bertanya pada diri sendiri seolah-olah orang yang mengenalku yang bertanya, “Kamu masih umur segini kok bikin cerita temanya nikah-nikahan kayak gini?” Hahaha… Insya Allah tidak menyalahi aturan kok :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar