Uap
mengepul di atas secangkir cappucino di atas meja tepat di depanku. Di sampingku,
dinding kaca tampak buram oleh tempias hujan. Udara dingin, sangat berlawanan
dengan yang dirasakan bibirku saat bersentuhan dengan permukaan cappucino yang
barusan kucoba untuk disesap.
Suara-suara
hujan, permukaan cappucino yang mulai datar setelah sebelumnya beriak, bunyi
denting piring dan sendok dari para pengunjung restoran, semuanya sangat
terperhatikan dengan baik olehku yang sedang menunggu dalam ketenangan dan
kegelisahan secara bersamaan. Aku tidak berani melirik jam dinding restoran,
apalagi mengangkat tanganku dan melihat waktu yang ditunjukkan oleh jam tangan
hitamku.
Aku
sudah duduk di sini setengah jam lebih awal dari perjanjian. Dua puluh lima
menit lebih kuhabiskan untuk menyaksikan bagaimana hari yang cerah secara
tiba-tiba menjadi mendung, lalu gerimis mulai turun, dan sekarang mulai melebat
secara perlahan. Cappucino di depanku baru diantar semenit yang lalu, ketika
aku sadar mungkin sebentar lagi orang-orang yang kutunggu akan datang.
Kemudian...
"Assalamualaikum
Zahra, sudah menunggu lama, ya?"
Aku
menoleh dan tersenyum pada seorang wanita paruh baya berjilbab lebar yang entah
kenapa tetap terlihat modis meskipun aku tau ia baru saja menembus hujan dari
parkiran mobil ke dalam restoran. Ia pun duduk di hadapanku dengan anggunnya,
lalu memesan minuman hangat pada pelayan yang lewat tak jauh dari kami.
"Kalau
pun saya menunggu, itu bukan karena Mbak. Padahal harinya sedang hujan, tapi Mbak
datang tepat waktu." Ucapku setelah sebelumnya membalas pelan salamnya.
"Jadi,
Zahra, sudah empat bulan," Mbak Fira, yang saat ini duduk di hadapanku,
mencoba untuk memulai pembicaraan dengan kata-kata yang kuanggap sedikit
keliru.
Pikiranku
menerawang pada sesosok lelaki berpeci yang tersenyum tulus padaku, membuatku
lupa akan bekas-bekas kecacatan pada sebagian wajahnya. Seorang lelaki yang
bertekad membahagiakanku tanpa pernah banyak menuntut, yang dengan
keberaniannya menemui ayahku dua tahun lalu untuk melamarku. Tempat berlabuhnya
cinta dan pengabdianku, tapi empat bulan sudah ia mendahuluiku karena Tuhan
lebih menginginkan untuk bertemu dengannya daripada denganku.
"Apa
kau merasa sudah baikan untuk memulai hidup baru?" Mbak Fira bertanya padaku.
Aku menghelas nafas. Sejujurnya, aku masih berduka. Aku masih belum bisa lepas
dari kesedihan setelah Hasan suamiku meninggal dunia empat bulan yang lalu. Aku
masih sering terbayang wajahnya, suara merdunya saat melantunkan firman Tuhan
pun seolah masih menggema di telingaku. Aku merindukan merawatnya di atas
kasur, membantunya berjalan dan menyuapinya makanan, rasanya sudah lama sekali
aku tidak mendengarkan nasehat-nasehatnya yang ia ucapkan dengan lembut padaku.
"Hasan,
sesuai namanya, adalah seorang lelaki yang baik. Lebih dari itu, ia adalah
suami dan imam yang baik. Aku merasa beruntung pernah memilikinya," kataku
sambil tersenyum pahit. Barusan adalah semacam pembelaanku di depan Mbak Fira,
untuk memberitahunya bahwa sulit sekali menemukan seseorang yang seperti Hasan.
"Aku
mengerti kau sangat mencintainya. Aku pun demikian, sangat mencintai suamiku,
tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita
kasihi. Lebih sakit daripada diputus pacar, kurasa," kata Mbak Fira setengah
tertawa. Aku mengerti bahwa ia sedang mencoba untuk memahami sekaligus
mencairkan suasana saat ini.
Mungkin
benar adanya hujan membuat seseorang mengingat-ngingat masa lalunya. Aku ingat
bahwa Hasan bukanlah seorang yang kukenal lama, bukan sebuah nama yang kusebut
dalam doa saat mengadu pada Tuhan, bukan seorang yang sering kulirik di masa remaja.
Bukan sama sekali.
Saat
aku masih SMA, seseorang yang lain telah menyita perhatianku. Seseorang yang
kukagumi karena kecerdasan sekaligus parasnya yang menawan. Ia bernama Ahmad
Fikri, seorang lelaki yang ramah dan humoris. Aku merasakan sesuatu padanya,
tapi justru karena itulah aku tak berani dekat-dekat dengannya. Kami tidak
pernah duduk dalam satu kelas. Aku hanya berani melihatnya dari jauh saat aku
sedang latihan badminton dalam aula yang pintunya terbuka, sementara ia
berlatih silat di halaman sekolah.
Aku
tak berani menanyakan tentangnya pada siapapun, apalagi memberitahu kepada
siapapun tentang apa yang kurasakan. Aku begitu pemalu, tapi justru aku bersyukur
karena itulah aku tidak pernah menjalani hubungan yang dinamakan pacaran.
Teman-temanku
mengatakan aku terlalu cepat dewasa. Saat mereka masih asik curhat tentang
seseorang yang mereka sukai, mereka kagumi, tentang pernyataan cinta di antara
sepasang muda-mudi, aku sudah memimpikan seorang lelaki yang akan menikahiku di
masa depan. Ketika wajah mereka bersemu merah karena menceritakan pengalaman
indah yang mereka alami bersama seorang yang mereka sukai, aku dengan malu-malu
namun bersemangat bercerita tentang seseorang yang kuyakin telah disiapkan
Tuhan sebagai jodohku di masa depan, disimpan dalam rahasia yang begitu indah
untuk dinanti.
Mereka
hanya tidak tahu, aku pun terkadang berkhayal tentang seorang bernama Ahmad
Fikri saat mulai cerewet soal jodoh. Meskipun begitu, aku masih teramat malu
bahkan di depan Tuhanku sendiri untuk mengucapkan namanya. Aku hanya berdoa dengan
menyebut karakter seseorang yang kuinginkan menjadi pendampingku kelak. Yang
dengannya aku bisa bercinta dalam sebuah hubungan yang halal. Pacaran setelah
menikah, orang bilang, begitu bahagianya bisa bersama dengan seseorang yang
memang kita harapkan.
Ketika
aku mulai kuliah, betapa senangnya diriku mendapati Ahmad Fikri berkuliah di
kampus yang sama denganku. Meskipun kami beda jurusan, tapi area fakultasnya
berdekatan hingga terkadang aku masih bisa melihatnya lalu lalang di sekitarku.
Sama sekali, aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Yang pernah hanyalah,
suatu ketika aku berjalan sendirian melewatinya yang sedang tertawa-tawa dengan
teman-temannya. Aku menunduk dan sedikit mengangguk saat mataku bertemu dengan
matanya dalam waktu sepersekian detik, sekedar menunjukkan bahwa aku
mengenalnya dan kami adalah alumni dari SMA yang sama. Lebih dari itu, tidak
pernah.
Lama-kelamaan
aku merasa pesimis bagaimana bisa dia yang jarang berinteraksi denganku secara
tiba-tiba menjadi jodohku. Diluar semua itu, aku terus memperbaiki diri dan
agamaku, berharap bahwa suatu saat akan mendapatkan seorang imam yang shaleh
yang benar-benar bisa membimbingku untuk berjalan bersama di jalan-Nya.
Namun,
hingga aku telah menyelesaikan skripsi dan sudah diwisuda, seseorang yang
bernama Ahmad Fikri itu tak juga menunjukkan tanda-tanda takdir Tuhan mengikuti
apa yang kuinginkan. Secara tiba-tiba ia menghilang. Aku tak pernah melihatnya
lagi dan tak tahu kabarnya. Tak ada yang menyebut tentang dirinya dalam forum
alumni sekolahku, dan aku pun tak berani mencari tahu tentangnya lebih jauh.
Dia menghilang dengan tetap membawa harapanku, membuatku semakin rajin mengadu
pada Tuhanku dengan tetap menyamarkan namanya karena rasa maluku, meskipun aku
tahu bahwa Dia Maha Tahu.
Kemudian
pada suatu hari selepas Maghrib, ayahku mengajakku bicara dengan ekspresi serius.
"Seseorang
telah melamarmu melalui Bapak hari ini tadi," kata ayahku, kalimat yang
begitu singkat dan jelas, tapi mampu membuatku terdiam selama beberapa detik.
"Bapak
mengenalnya, dia seorang lelaki yang baik. Agamanya bagus dan Bapak yakin dia
bisa menjadi imam yang baik untukmu,"
"Apa
aku mengenalnya, Pak?" tanyaku, dalam hati aku menyebut-nyebut sebuah
nama.
"Dia
bahkan belum bertemu denganmu. Begitu dia tahu Bapak punya seorang anak
perempuan, dia memantapkan hati untuk melamarmu,"
Aku
menyembunyikan gurat kekecewaan di wajahku. Aku melirik ibuku untuk meminta
pendapatnya.
"Ibu
sudah berunding dengan Bapakmu, insya Allah laki-laki ini adalah jodohmu,
Zahra. Ibu pernah bertemu dengannya beberapa kali, semua orang tentu memilili
kekurangan, tapi Ibu rasa dia calon yang tepat," ibuku mencoba meyakinkanku.
Aku tahu mereka tidak akan memaksaku. Aku mengingat kembali beberapa poin yang
kudapat dalam kajian-kajian atau majelis ilmu yang aku ikuti, bahwa beberapa
cara dalam mencari jodoh yaitu dengan berdoa kepada Allah, dicarikan oleh orang
tua, atau melalui pihak ketiga.
Aku
telah berdoa dari jauh-jauh hari. Baik secara umum ataupun saat aku
membayangkan Ahmad Fikri lah yang merupakan pasanganku di masa depan. Sekarang,
seorang lelaki yang tidak kukenal telah melamarku dan kedua orang tuaku sangat
setuju dengannya.
Aku
dipertemukan dengan orang yang melamarku beberapa hari kemudian. Dia bernama
Muhammad Hasan. Ada cacat di wajahnya karena bekas luka bakar, kakinya lebih panjang
sebelah hingga ia berjalan dengan agak pincang. Namun, matanya teduh dan teguh,
ekspresinya tenang dan berwibawa sehingga ia tampak dewasa, berbeda dengan
Ahmad Fikri yang ku kenal sebagai seorang yang masih memiliki sedikit keusilan
masa muda.
Pada
kenyataannya, Muhammad Hasan memang tujuh tahun lebih tua dariku. Ia seorang wiraswasta,
memiliki rumah makan sebagai usahanya. Ia juga sering mengisi artikel-artikel
di surat kabar atau majalah mengenai opini publik dan hal lain yang berkaitan
dengan manajemen bisnis.
Akhirnya,
aku harus membuat keputusan.
Aku
mengatakan bahwa aku setuju pada ayahku. Dan tepat saat itu juga, aku menghapus
semua perasaanku pada Ahmad Fikri. Meyakinkan diriku bahwa aku tak mungkin
menunggunya lagi, sementara di sini seseorang telah menyatakan keseriusannya
padaku. Aku berusaha menghilangkan bayang-bayang wajah Ahmad Fikri dalam
pikiranku, berusaha menjadikannya terlihat biasa sama seperti teman-temanku yang
lainnya.
Satu
bulan kemudian, aku telah resmi menikah dengan Muhammad Hasan. Aku pun memulai
kehidupan baru. Ia mengizinkanku untuk bekerja sebagai karyawan di sebuah
perusahaan, sesuai dengan jurusan yang kuambil saat kuliah. Kami tinggal di
sebuah rumah sederhana. Meskipun tidak besar, tapi rumah itu adalah milik kami
dan bukan mengontrak, Hasan membelinya dengan uangnya sendiri.
Aku
mulai mencoba menumbuhkan rasa cintaku pada Hasan. Memang sulit pada awalnya. Aku
yang sama sekali tidak pernah mengenalnya, tiba-tiba menemuinya sebagai suamiku
sekarang. Tapi walau bagaimanapun, aku tetaplah seorang istri yang harus
melayani suami sebaik mungkin. Suka atau tidak suka, biarlah cinta itu tumbuh
dengan sendirinya dan tiba-tiba pada suatu hari ia mengakar dengan begitu
kuatnya. Aku meniatkan semuanya karena Allah semata, agar Ia memudahkanku
mengabdi sebagai seorang istri dan melupakan semua anganku pada laki-laki lain.
Setahun
setelah aku menikah dengan Hasan, aku menyadari bahwa dia benar-benar menjadi
sosok lelaki yang baik, yang terus membimbingku dalam ketaatan pada Tuhan, yang
begitu sabar menghadapi tingkahku yang kadang kekanak-kanakan. Dia adalah idola
baruku, dia tak pernah lelah mengingatkanku dalam kebaikan, bahkan ia sendiri
yang membantu memperbaiki bacaan Quranku. Dia seorang lelaki yang bijak dan
tangguh, seorang yang bertanggung jawab dan berlaku lemah lembut terhadapku.
Hasan
sudah sering diuji melalui diriku, lalu tibalah saatnya aku yang diuji melewati
dirinya. Ia terserang penyakit yang membuatnya tak bisa beraktifitas seperti
biasa. Aku merawatnya dengan sabar, memenuhi segala kebutuhannya dan tetap
bekerja sebagai seorang karyawan semampuku.
Sedikit
demi sedikit Hasan mengajariku mengelola bisnis rumah makannya. Belakangan ini
aku baru sadar bahwa mungkin ini adalah pertanda bahwa ia akan meninggalkanku.
Dan benar saja, empat bulan yang lalu Muhammad Hasan telah berpulang ke
haribaan-Nya karena penyakitnya. Ia meninggalkan diriku dan taman-taman cinta
yang baru saja kubangun dengan megahnya. Ia meninggalkanku sendirian di tengah
bunga-bunga cinta yang masih bermekaran.
"Taman
bungaku masih belum layu seutuhnya, Mbak Fira. Mbak Fira masih bisa membuat
berbuket-buket bunga dari tamanku itu," ucapku lirih dengan senyuman tipis.
Hujan masih turun di luar. Restoran tempat pertemuanku dengan Mbak Fira siang
ini adalah peninggalan dari Hasan. Dua bulan yang lalu aku resmi berhenti dari
pekerjaanku sebagai karyawan dan fokus mengurus usaha rumah makan ini.
"Kalau
begitu, biarkan tamanmu terus berbunga dan sambutlah seseorang di sana,"
sahut Mbak Fira. Ia menatap mataku dalam-dalam. Ia seakan berbicara melalui
tatapannya: ingatkah kau dengan kata-kata terakhir Hasan suamimu? Kau sendiri
yang pernah berkata, Hasan berpesan padamu untuk terus melanjutkan hidupmu.
Aku
mengalihkan pandangan dari tatapan Mbak Fira. Namun, justru tatapan Hasan yang
terbayang olehku. Sebelum dia meninggal, ia hanya meminta padaku untuk tidak
berlarut-larut dalam kesedihan. Ia mengucapkan terima kasih karena aku telah
mengurusnya selama ini, ia mengatakan bahwa ia mencintaiku, ia pun tahu aku
mencintainya, tapi Hasan berkata, "Aku benar-benar minta maaf jika menyusahkanmu,
aku yakin suatu saat seseorang akan menjagamu. Seseorang yang mungkin lebih
baik daripada aku, jika ia datang padamu maka janganlah kau menolaknya,"
Seseorang
itu, datang melewati Mbak Fira.
"Kau
tidak lupa, kan? Alasan kita bertemu di sini karena aku ingin menyampaikan sebuah
amanah yang dititipkan kepadaku. Adik iparku, ia tertarik denganmu setelah
melihat fotomu dan berniat untuk menikahimu,"
"Iya,
Mbak. Saya tidak lupa,"
"Berapa
umurmu sekarang, Zahra?"
"Dua
puluh empat Mbak, sebentar lagi dua puluh lima,"
"Adik
iparku, dia sudah dua puluh lima. Dia akan menyusul ke sini sehingga kau bisa
melihatnya. Insya Allah dalam beberapa hari ke depan dia akan datang ke rumahmu
untuk melamar,"
Aku
diam saja, tawakkal pada kehendak Tuhan. Entah siapa lagi yang akan mengukir
nama dan kenangan indah dalam benakku untuk di masa depan.
Lima
menit kemudian, seorang laki-laki menghampiri meja kami dan mengucapkan salam.
Aku menjawab salamnya dengan agak menunduk, berusaha agar tidak bertemu pandang
dengan matanya. Tapi tetap saja, aku bisa melihat wajahnya. Wajahnya bersih
dengan jenggot tipis di dagunya. Meskipun demikian, ia tampak masih muda dengan
rambut yang dipangkas rapi sehingga ia kelihatan gagah. Dan menawan. Parasnya
yang menawan. Gerak gerik tubuhnya yang menunjukkan bahwa ia punya kekuatan
fisik. Ia mengingatkanku pada seseorang. Bukan pada Hasan, tapi pada seseorang
yang kukenal sebelum Hasan.
"Zahra,
ini Ahmad Fikri, adik ipar Mbak,"
Aku
menunduk lebih dalam lagi. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Aku memang
baru mengenal Mbak Fira setahun terakhir, tak kusangka aku telah mengenal adik
iparnya lebih dulu.
"Fik,
ini Zahra,"
"Iya,
Mbak. Saya sebenarnya sudah kenal. Kami pernah satu sekolah ketika SMA,"
ucap Fikri. Lugas, tenang, tanpa beban dan apa adanya. Justru akulah yang mulai
terheran-heran dengan takdir Tuhan yang tak terduga ini.
"Sebenarnya
Mbak, saya tidak bisa lama-lama di sini. Saya cuma memastikan bahwa yang di
foto itu benar-benar Zahra teman sekolah saya dulu," kata Fikri lagi.
Ahmad
Fikri sekarang sudah berbeda. Ia menjadi seorang yang dewasa, tidak
kenakan-kanakan seperti dulu lagi. Dua bulan kemudian, dia resmi menjadi
suamiku. Dia menghidupkan kembali taman bungaku yang tadinya mulai layu dengan cinta
tulusnya. Dia menjadi imam yang dapat diandalkan, dia membuatku terus bersyukur
pada Tuhan. Aku mengabdi padanya setulus yang aku bisa, mencintainya dengan
sepenuh hati dan ia pun berusaha membahagiakanku dengan caranya sendiri.
Dengannya,
aku melahirkan sepasang anak kembar. Bersama keluarga kecil inilah aku melanjutkan
hidupku, sebagai seorang ibu untuk anak-anakku dan seorang istri yang mengabdi
pada suamiku hingga akhir hayatku.
***
Cerpen ini kuikutkan
dalam sebuah lomba dari penerbit indie yang informasinya kutemukan di Facebook,
kemarin saat pengumuman cerpen ini tidak termasuk ke dalam kontributor terpilih
sehingga aku memutuskan daripada ia mengendap di laptopku atau alur ceritanya
hanya membayang di kepalaku saja, mungkin ada baiknya jika kumasukkan ke dalam
blog. Semoga menginspirasi entah dalam hal apa karena aku yakin masing-masing
orang punya sudut pandang yang berbeda-beda. Ngomong-ngomong, ada hal lain yang
membuatku berpikir keras untuk memutuskan memasukkannya di blog. Setelah kubaca
ulang aku bertanya pada diri sendiri seolah-olah orang yang mengenalku yang
bertanya, “Kamu masih umur segini kok bikin cerita temanya nikah-nikahan kayak
gini?” Hahaha… Insya Allah tidak menyalahi aturan kok :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar